Langsung ke konten utama

Rumah Gula Mungil by Enid Blyton

Bu Biskuit mempunyai toko kue di sebuah kota kecil. Anak-anak sangat senang melihat-lihat etalase tokonya, karena banyak yang menarik dipajang di sana. Seperti orang-orangan dari roti jahe, kue berbentuk kucing-kucingan atau anjing-anjingan, kuda dari cokelat, dan kue-kue tart yang indah.
Sebetulnya Bu Biskuit seorang perempuan yang manis sekali kalau saja ia tak terlalu banyak bercerita yang bukan-bukan. Rupanya dia tak tahu apa yang disebut jujur itu.
“Apakah kue ini dibuat tadi?” Tanya langganannya.“Apakah kuenya masih segar?”
“Tentu, Nyonya. Baru sekali!” sahut Bu Biskuit walaupun ia tahu pasti bahwa kuenya sudah kering dan hampir bau.

Bu Biskuit agak pelit juga. Ia tak pernah memberikan apapun kepada siapa pun sedapat-dapatnya. Bahkan sepotong kue yang sudah apek pun tak hendak ia berikan. Kue-kue itu ia jadikan pudding untuk dirinya sendiri.

Pada suatu hari, ia berniat membuat kue tart yang indah untuk dipajang di etalase tokonya.
“Kalau mereka mampir melihat kue tart-ku pasti mereka melihat bolu, biskuit, dan daganganku lainnya,” pikir Bu Biskuit. “Siapa tahu mereka akhirnya membeli.”
Ia pun mulai membuat kue tart. Tepinya ia hiasi dengan beberapa kuntum bunga mawar. Tapi, ia tak tahu apa yang harus ditaruhnya dibagian tengah.
“Ah, kubuat saja rumah-rumahan dari gula,” ujarnya.“Kubuat ada jendela, pintu dan dua cerobong asapnya. Pasti semua orang senang melihatnya.”

Bu Biskuit pun mulai membuat rumah-rumahan dari gula. Rumah-rumahan itu ia beri dua cerobong asap berwarna merah, empat jendela dan sebuah pintu dari cokelat. Pada dindingnya ditaruh beberapa bunga mawar dari gula. Setelah gulanya keras, Bu Biskuit menaruhnya di atas kue tartnya yang besar. Kemudian ia meletakkan kue itu di etalase.
Mula-mula banyak orang yang tertarik melihatnya. Tapi, lama-kelamaan orang bosan melihatnya.
“Mengapa tak ada orang-orangan dalam rumah-rumahan itu?”seorang gadis cilik bertanya. “Rumahkan untuk dihuni orang? Mengapa tidak kau suruh seorang kurcaci meninggali rumah-rumahan dari gula itu? Pasti orang akan datang melihat kurcaci itu membuka pintu cokelat dan melongok ke luar dari jendela berbentuk bunga-bunga mawar itu.” Bu Biskuit menganggap gagasan gadis itu cukup bagus. Ia mengenakan topi, lalu berangkat ke perkampungan kurcaci.

“Maukah salah seorang dari kalian tinggal di rumah yang kubuat? Bagus deh, rumahnya tembok dihiasi mawar,” katanya. “Tidak seperti rumah kalian ini. Sehari berdiri, besoknya sudah ambruk. Rumah yang kubuat di atas kue tartku tahan berminggu-minggu. Tidak seperti jamur yang kalian tinggali ini.”

Kurcaci-kurcaci keluar dari rumah jamur mereka. Semuanya memandang Bu Biskuit.
“Kudengar kau suka berbohong,” kata ketua suku kurcaci.“Kami makhluk jujur. Kami tak mau hidup dengan orang yang tak jujur.”
“Aku jujur! Kata Bu Biskuit marah. “Belum pernah aku mengada-ngada!”
“Baguslah kalau begitu,” sahut ketua suku tadi, agak mempercayai Bu Biskuit. “Kalau begitu, aku senang membiarkan anak sulungku tinggal di rumah gulamu itu mulai besok.” “Terima kasih,” sahut Bu Biskuit, senang. Ia pun pulang.

Sebentar saja semua kurcaci tahu, bahwa akan ada kurcaci yang tinggal di rumah gula Bu Biskuit. Mereka menyambut kabar itu dengan gembira.

Keesokan harinya, Kelip putra ketua suku kurcaci datang ke Toko Bu Biskuit. Dan Bu Biskuit memasukkan makhluk kerdil itu ke dalam rumah gula di atas kuenya. Betapa girang hati kurcaci itu.
Ia membuka pintu mungilnya yang terbuat dari cokelat, lalu masuk ke dalamnya. Ia tidak membawa perabot rumah tangga sama sekali. Karenanya, dimintanya Bu Biskuit membuatkan tempat tidur dati cokelat, dua buah kursi dari gula, serta sebuah meja dari cokelat. Kurcaci itu berkata ia hendak memasang tirai di jendela serta menutup lainnya dengan karpet.
Tak lama kemudian rumah gula itu pun siap ditiinggali. Anak-anak datang mengintip. Senang sekali mereka menyaksikan kurcaci membuka pintu rumahnya lalu mengibaskan keset. Melihat makhluk kerdil itu menutup tirai jendela juga mengasyikkan. Terkadang ia menyeret meja dan kursinya ke luar dan duduk-duduk di halaman rumah yang terdiri dari lapangan gula juga. Sering ia makan di situ.
Bu Biskuit dapat untung banyak. Orang berdatangan ke tokonya hendak melihat kue tart yang berumah gula. Datang melihat saja, tidaklah enak. Jadi, terpaksa mereka membeli sesuatu. Pendek kata, Bu Biskuit menjadi kaya dalam waktu singkat.

Beberapa waktu lamanya, ia ingat dan tidak berbohong kepada orang. Lalu ia lupa.
“Kue cokelat ini masih segar, ya?” Tanya nenek Tippy pada suatu pagi.
“Tentu saja,” sahut Bu Biskuit, berbohong. Kue itu sudah seminggu dibuatnya.
“Kau pembohong!” terdengar suara dari arah rumah gula. Lalu, kurcaci di dalamnya melongok ke luar. “Kue itu kau buat seminggu yang lalu.”
“Astaga! Betul! Katanya tergopoh-gopoh dan marah bukan main mendengar suara kurcaci itu. “Ambilah yang ini saja, Nenek Tippy.”

Keesokan harinya, seorang gadis cilik datang hendak membeli bolu segar. Bu Biskuit cepat-cepat mengambilkan bolu yang sudah apek dari baki yang ada di belakang tokonya. Bolu-bolu itu ia masukkan ke dalam kantung.
“Ini masih baru dan segar,” katanya kepada gadis cilik itu.
“Kau pembohong! Bolunya sudah keras seperti batu!”terdengar lagi pekik si kurcaci, yang kemudian melongokkan kepalanya dari jendela rumah gulanya.
“Hus! Diam kau! Bolu ini baru ku buat tadi pagi,” Kata Bu Biskuit marah.
“Ia berbohong! Jangan bayar dia gadis cilik! Ia berbohong!”
Gadis cilik itu berlari ke luar toko dengan membawa kembali uangnya. Bu Biskuit berteriak-teriak memanggilnya.
“aku cuma bercanda,” Katanya kepada anak itu.”Kemarilah, ku ambilkan untukmu bolu yang baru tadi pagi tadi kubuat.”
“Nah, yang itu boleh kau ambil,” kata si Kurcaci.” Yang itu memang baru.”
Ketika gadis itu sudah pergi, Bu Biskuit mengomel pada si kurcaci. Ia kaget dan heran ketika mendadak, makhluk kerdil itu menggulung karpet rumahnya dan menurunkan tirai jendelanya.
“Mau apa kau?” Tanya Bu Biskuit.
“Pulang,” jawabnya.” Aku tak mau tinggal bersama pembohong seperti kau.”
“Oh, jangan pergi,” rengek Bu Biskuit.” Jangan pergi! Nanti kau dicari orang.”
“Ah, tidak. Nanti kuberi tahu mereka semua.” Jawab si kurcaci sambil melipat karpetnya.
“Tinggalah denganku disini. Nanti kubuatkan kau taman yang indah dari cokelat dan kue jahe, pinta Bu Biskuit.” Aku berjanji tak akan berbohong lagi.”
“Kalau kau berbohong lagi akan kuberitahu semua orang,”kata si Kurcaci, membuka kembali gulungan karpetnya.” Jadi, berhati-hatilah, Bu Biskuit.”
Beberapa hari lamanya, Bu Biskuit sangat berhati-hati si makhluk kerdil tak berkata apa-apa. Lalu, pada suatu pagi, datang seorang perempuan miskin meminta-minta. Ia minta diberi kue yang sudah apek.
“Kue apek? Aku tak punya kue seperti itu di sini!” serunya.“Pergilah kau!”
“Oh, kau perempuan pelit!” Kata si kurcaci dengan suaranya yang kecil. Ia membuka pintu rumah cokelatnya.”Mana kue yang kau buat hari Kamis yang lalu dan belum terjual?”
“Sudah kumakan sendiri,” kata Bu Biskuit, marah.” Jangan sok ikut campur!”
“Kau pembohong,” kata Kurcaci lagi.”Banyak kue apek di rak sebelah sana. Kalau tidak kau berikan kepada perempuan miskin ini sekarang juga, aku akan pulang ke rumah jamurku.”
Bu Biskuit menurunkan kue-kue itu, menaruhnya di kantung kertas dan melemparkannya kepada perempuan miskin itu. Perempuan peminta-minta itu mengucapkan terima kasih dan pergi.
Bu Biskuit tidak mengatakan apa-apa kepada si kurcaci tapi, ia betul-betul marah si kurcaci masuk ke dalam rumah gulanya, sambil membanting pintu. Ia juga marah melihat orang sepelit Bu Biskuit.

Siang harinya, seorang anak lelaki kecil berbadan kurus mengendap-endap ke toko, meminta-minta diberi remah-remah kue yang sudah apek ia kelaparan. Bu Biskuit memandangnya. Lagi-lagi pengemis!
Hampir saja ia mengatakan tak punya kue apek, ketika dilihatnya si kurcaci melongok keluar dari jendela rumah gulanya. Ia pun bergegas mengambilkan roti yang sudah apek dan memberikannya kepada anak itu.
Anak itu sangat gembira dan mengucapkan terima kasih sambil mencium tangan gemuk Bu Biskuit. Baru pertama kali itulah Bu Biskuit dicium seseorang. Ternyata, dia sangat senang merasakan ciuman itu. Senyumnya mengembang, menghiasi wajahnya. Ibanya timbul melihat betapa kurusnya tubuh anak itu. Bu Biskuit lalu menurunkan kue cokelat segar dari rak dan memberikannya kepada anak itu.
“Oh!” Seru anak itu kegirangan.”Anda baik sekali! Betulkah ini untukku?”
Ia keluar dari toko sambil menyanyi-nyanyi, Bu Biskuit melihat bagian tangannya yang dicium anak itu tadi. Terasa hangat hatinya. Ternyata, berbuat kebaikan itu menyenangkan, pikirnya. Ia akan mencobanya lagi.

Bu Biskuit memandang keluar terlihat olehnya segerombolan orang sedang melihat etalase tokonya. Lalu dilihatnya si kurcaci sedang menari-nari riang di halaman rumah gulanya. Tariannya itu betul-betul memukau orang-orang yang lewat. Mereka lalu berhenti dan menyaksikan dengan kagum.
“Mengapa kau menari-nari begitu?” Tanya Bu Biskuit keheranan.
“Aku gembira, kau berbuat kebaikan. Itulah sebabnya aku menari, merayakan kegembiraan hatiku!” kata si makhluk kerdil.

Kali berikutnya, ketika ada peminta-minta datang, Bu Biskuit bersikap baik lagi. Ia ingin merasakan kembali kehangatan yang merambati hatinya ketika berbuat baik. Ia pun membungkus pie cherry serta menaruh beberapa bolu jahe dalam bungkusan untuk lelaki tua yang datang meminta remah-remah. Pengemis itu begitu kaget dan gembira menerima kue-kue itu hingga hampir tak kuasa mengucapkan terima kasih. Si kurcaci membuka pintu rumahnya. Ia lalu mulai menyanyi dengan syair yang mengungkapkan kebaikan hati Bu Biskuit. Muka Bu Biskuit jadi merah padam, dan tak tahu harus membunyikan wajahnya ke mana.
Lalu datanglah Pak Jerami, petani, hendak membeli kue ulang tahun untuk isterinya. Ada dua kue jahe di toko Bu Biskuit. Yang satu dibuat beberapa hari sebelumnya, dan lainnya tadi pagi. Bu Biskuit mengambil yang sudah lama dan memasukkannya ke dalam kantung.

“Pasti itu yang baru?” Tanya Pak Jerami. Bu Biskuit membuka mulut hendak berbohong. Cepat ia membatalkan.
Berbohong tidak baik. Apalagi kalau kue itu untuk isteri Pak Jerami yang sedang berulang tahun.
“E, tidak. Yang ini kurang segar,” katanya. “Kuambilkan yang lebih baru, yang baru tadi pagi kubuat.”

Si kurcaci sedang mengintip dari jendela rumahnya sudah siap-siap meneriakkan “pembohong”.Ia tidak jadi meneriakkan kata-kata itu, tetapi bersorak-sorai kegirangan.
“Dia perempuan jujur!” katanya. “Dia Jujur!”
“Astaga, Pak Jerami, melihat berkeliling. “Itukah kurcacimu, Bu Biskuit? Wah, aku sangat senang mendapatkan kue yang baru. Terima kasih, Bu Biskuit. Aku betul-betul menghargai kejujuran anda. Bagaimana kalau anda datang ke pesta ulang tahun isteriku sore nanti?”
“Wah dengan senang hati,” sahut Bu Biskuit. Ia bersyukur tak jadi memberikan kue yang sudah basi kepada Pak Jerami. Bagaimana kata orang nanti kalau mencicipi kue buatannya yang ternyata basi?
Itulah kali terakhir Bu Biskuit punya niat berbohong. Ia merasa puas setiap kali selesai mengatakan sejujurnya kepada seseorang atau sehabis berbuat kebaikan. Dalam waktu singkat, orang menyukainya. Mereka selalu membeli kue dan roti dari tokonya.
Bu Biskuit pun jadi orang kaya di desanya. Ia lalu membeli sebuah gubuk mungil dan tinggal di sana.
Kue tart berumah gula dibawanya pindah. Ia menaruh kue itu di meja dekat jendela agar rumahnya disinari matahari!
Itu pertanda Bu Biskuit masih terus jujur dan baik hati hingga sekarang. 
 
 
#Dongeng ini merupakan Dongeng masa kecil saya. Salah satu dari 4 buku yang saya punya (saat itu saya hanya mempunyai 4 buah buku cerita bergambar karena orang tua saya belum mampu untuk membelikan lebih banyak buku. Buku-buku itu adalah Robin Hood, Rumah Gula Mungil dan Dongeng Lainnya, 2 buku cerita binatang tentang kelinci dan tupai)
 
Happy Reading
Sandhy Suryadi   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI-PUISI SAPARDI DJOKO DAMONO

Saya suka puisi-puisi dari Dr. Sapardi Djoko Damono. Menurut saya puisinya sederhana tapi Indah dan menyejukan hati. Bahkan beberapa diantaranya bisa saya sebut romantis =D Berikut cuplikan profil beliau yang saya temukan di wikipedia Sapardi Djoko Damono Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sapardi_Djoko_Damono   Pekerjaan : Penyair, sastrawanm dosen Kewarganegaraan : Indonesia Suku Bangsa : Jawa Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 74 tahun) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer. Riwayat hidup Masa mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958). Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia

Berani Bermimpi

Kita semua pasti sering mendengar pepatah “Gantungkan cita-citamu setinggi langit” atau “Gapailah impianmu sampai ke negeri seberang”. Ngomong-ngomong tentang Impian, apakah anda masih memiliki impian sampai hari ini? Cobalah bertanya pada anak kecil yang ada di sekitar kita tentang apa impian mereka, pasti ada beragam jawaban yang muncul dari mulut kecil mereka. Ada yang bilang ingin jadi dokter, pilot, perawat, tentara, mekanik, direktur, polisi, presiden, menteri, dan lain sebagainya. Bahkan putri saya sendiri, Zeny (6 tahun) kalau di tanya tentang cita-cita pasti akan menjawab dengan lantang bahwa ia ingin menjadi seorang dokter jika sudah besar nanti. Tapi semakin kita menjadi dewasa, maka semakin kita (mungkin) mulai melupakan impian masa kecil kita. Rutinitas dan tuntutan hidup, mulai merubah jalan dan sudut pandang kita tentang sebuah impian. Memang tidak semua orang melupakan impian mereka. Masih ada sebagian dari kita yang masih tetap setia menggenggam